Senin, 26 Januari 2009

MENGENAL ALIRAN KEPERCAYAAN THD TUHAN YME (4)

Saptodarmo

Kepercayaan Sapta Darma Indonesia berdiri secara resmi pada tanggal 12 Juli 1965 dengan Ketua Raboen Sutrisno. Nama Kepercayaan Sapta Darma mempunyai arti tersendiri. Kepercayaan berarti dipercaya/diyakini, dihayati dan diamalkan. Sapta berarti tujuh, Darma berarti kewajiban suci atau luhur atau wajib melaksanakan suatu perbuatan baik ucapan maupun tindakan yang bersifat amal dan keturunan. Kepercayaan Sapta Darma berarti mempunyai tujuh ayat wewarah suci dan luhur yang diwahyukan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk dihayati sebagai tuntunan hidup manusia dalam mencapai ketentraman, kebahagiaan, dan kesempurnaan di dunia sampai di akhirat.
Kepercayaan Sapta Darma Indonesia pertama kali diterima Hardjosepuro yang bernama asli Legiman alias Sapuro di kampung Pandean, Desa Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Hardjosepuro adalah putra dari Rakiman dan Sulijah. Setelah dewasa ia ikut membela negara dengan menjadi anggota Staf Pertahanan Rakyat, yang dilanjutkan menjadi anggota Comando Onder Distrik Militer. Akan tetapi setelah perang selesai, ia kembali menjadi warga biasa dan mula bekerja sebagai pedagang. Ia meninggal pada tanggal 16 Desember 1964 dan dikremasi tanggal 18 Desember 1964 di Kembang Kuning Surabaya. Abunya dilarung ke laut Kenjeran, Surabaya tanggal 20 Desember 1964. Akan tetapi menurut cerita pengikutnya ketika dibawa ke Surabaya untuk dikremasi, kendaraannya mengalami mogok di daerah Trowulan beberapa saat, dan setelah petinya dibuka ternyata beliau sudah tidak ada, sehingga keyakinan anggotanya yang dikremasi adalah peti jenasahnya saja.
Ajaran Sapta Darma Indonesia yang diterima dalam bentuk wahyu berupa (1) wangsit ajaran sujud kepada Tuhan Yang Maha esa pada tanggal 27-28 Desember 1952 haru Jumat Wage malam sabtu Kliwon antara pukul 24.00 – 05.00, (2) wangsit ajaran Racut pada tanggal 13 Pebruari 1953 hari Jumat Pon pukul 11.00, (3) wangsit simbol ajaran berupa lambang pribadi manusia, wewarah tujuah, dan sesanti pada tanggal 12 Juli 1954 hari Senin Paing pukul 11.00, (4) wangsit gelar Sri Gutama dan Penuntun Agung Sapta Darma pada tanggal 27 Desember 1955 hari Selasa Kliwon pukul 24.00. Penerimaan wahyu pertama membuat ia dapat melihat hal-hal yang tidak kasat mata, dapat menyembuhkan orang sakit dan mulai memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Kepercayaan Sapta Darma Indonesia mempunyai lambang (1) bentuk belah ketupat yang melambangkan asal usul manusia dari empat unsur, yaitu sudut alas melambangkan cahaya Allah, sudut bawah melambangkan sari-sari bumi, sudut kiri dan kanan melambangkan perantara (ayah dan ibu), (2) bingkai bewarna hijau tua yang merupakan lambang wadah atau bleger jasmani/badan, (3) warna hijau muda di bingkai melambangkan setiap kehidupan jasmani diliputi zat hidup atau cahaya Allah atau getaran hawa, (4) garus warna kuning berbentuk segitiga sama sisi dan sebangun yang melambangkan proses terjadinya manusia dari tiga nsur Tri Tunggal, yaitu rasa ayah, rasa ibu dan cahaya Allah. (5) lingkaran warna hitam/tanah, merah/api dan putih/air, (6) gambar semar di tengah lingkaran yang melambangkan dalam setiap pribadi manusia ada roh suci yang disebut Hyang Maha Suci, setiap anggota bersikap dan berjiwa satria,berbudi luhur, menjaga ketentraman,rendah hati, mengalah, tidak sombong, dapat mengendalikan diri, mawas diri, menaati ajaran Sapta Darma, dan jujur seperti Semar yang sebenarnya Dewa yang berujud manusia.
Organisasi ini berpusat di Jalan Darmo Permai Selatan XI/51 Surabaya. Anggota organisasi pusat berjumlah 300 orang dan cabang tersebar di Tuban, Bojonegoro,Nganjuk,Madiun, Caruban,Kediri, Blitar, Malang, Lamongan, Sidoarjo, Gresik dan Surabaya. Anggota organisasi ini tidak terbatas pada lapisan manapun. Pada saat ini diperkirakan jumlah anggota mencapai 4000 jiwa.

Sumarah

Tuntunan Sumarah diterima pertama kali Raden Ngabehi Soekinohartono yang biasa disebut Pak Kino, pada tanggal 8 September 1935. Nama Paguyuban Sumarah bermakna menyembah dan menyerah sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pak Kino lahir tanggal 27 Desember 1887, pukul 03.00 di desa Munggi, Gunung Kidul, DIY. Beliau wafat pada tanggal 25 Maret 1971, pukul 13.00 di Wirobrajan Ng. VII/158 dan dimakamkan di Kuncen, Yogyakarta. Semenjak masih muda, Pak Kino memang sudah sering melakukan tarak brata dan tapa brata bahkan beluai mendapat ilmu kedigdayaan jaya kawijayan dari orang tua, kakek dan eyang buyutnya. Namun dengan jaya kawijayan tersebut Pak Kino tidak merasa bahagia sehingga ia masih tetap suka bertafakur dan bersemedi ke hadirat Tuhan Yang Maha esa. Dengan bertafakur dan bersemedi akhirnya Pak Kino dapat menjadi warana dari sang guru, berserah dan bersujud sumarah kepada Tuhan. Dari sinilah kemudiantimbul istilah sumarah. Tuntunan Sumarah ditujukan bagi umat manusia agar umat manusia kembali beriman bulat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tujuan Paguyuban Sumarah untuk menampung dan membina kebutuhan rohani para warganya dalam melaksanakan sesanggeman terutama dari segi pebinaan sujud sumarahnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pada awal dikenalnya tuntunan Sumarah, bertindak sebagai pendamping pak Kino adalah Bapak Soehardo dan H.Soetadi. Struktur Organisasi Penghayat Kepercayan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Sumarah menurut data terakhir, terdiri atas ketua Suko Sudarso, Sekretaris Patria Sumarahadi dan Bendahara Ny. Suko Sudarso. Pusat organisasi ini berada di Jalan Bintaro Permai 32 Jakarta Selatan 12321 dengan cabang yang berjumlah 45 organisasi tersebar di beberapa Kabupaten dan Kota di Jawa Barat, Jawa tengah dan Jawa Timur serta DKI Jakarta. Menurut catatan terakhir, jumlah anggota Sumarah ada 2733 orang berasal dari berbagai kalangan.
Kegiatan spiritual warga Sumarah dilaukan dalam bentuk latihan sujud dan sujud bersama. Tuntunan Sumarah tidak berdasarkan ajaran tertulis, tetapi semata-mata mengikuti penjabaran tuntunan atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Sesanggeman berfungsi mengarahkan sikap mental para warga, terdiri atas 5 hal tata alam kesadaran dalam penghayatan sedangkan himpunan wewarah berfungsi sebagai pencatatan dan pengumpulan tuntunan yang pernah menyebar dalam perjalanan perkembangan Sumarah. Organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Sumarah mengajarkan kepada warganya untuk berbakti dan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui laku, hukum dan ilmu Sumarah.

MENGENAL ALIRAN KEPERCAYAAN THD TUHAN YME (3)

Aliran Kebatinan Perjalanan Tri Luhur
Organisasi Perjalanan Tri Luhur didirikan oleh seorang sesepuh bernama Toeloes Partosoewirjo pada hari Senin wage (malam Selasa Kliwon), tanggal 1 Oktober 1956 di Balai Desa Kober Purwokerto. Perjalanan Tri Luhur dari kata Perjalanan yaitu gerak perbuatan atau laku manusia. Tri artinya badan Jasmani, gerak rasa sejati dan guru sejati, luhur adalah sifat ketiga perjalanan. Maksud dibentuknya wadah tersebut untuk menampung semua kegiatan yang tujuannya untuk kesempurnaan kehiduan manusia lahir dan batin.
Toeloes Partosoewirjo dilahirkan di desa Cangkerep Lor Purworejo, Jawa Tengah, pada tanggal 30 April 1924. Pada usia 12 tahun ia telah mendengar dan tertarik hal-hal yang berkaitan dengan Ketuhanan. Kemudian muncul gagasan bagaimana caranya untuk mendekatkan diri pribadinya dengan Tuhan. Atas dorongan itu maka timbullah tekad untuk mengetahui persoalan-persoalan Ketuhanan dan menumbuhkan keyakinan bahwa Tuhan mempunyai kuasa menciptakan alam semesta beserta isinya. Akhirnya pada malam Jumat Kliwon tanggal 23 Mei 1954 pada jam 01.00 sewaktu Beliau sedang duduk menghadap ke utara mohon kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa dengan sikap tenang, pasrah secara totalitas dan berkeyakinan yang mantap bahwa Tuhan itu Maha Pemurah dan Maha pengasih, beliau menerima wangsit dari Tuhan. Salah satu ajaran organisasi Perjalanan Tri Luhur, yaitu wewarah “janji 7” yang berupa perjanjian 7 pasal yang merupakan perjanjian manusia pada dirinya sendiri dengan disaksikan Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahasuci. Hal ini merupakan tata moral dan pedoman laku lampah bagi setiap warga perjalanan Tri Luhur dalam menghayati Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Organisasi Perjalanan Tri Luhur beralamat di Jatiwinangun no. 20 Purwokerto. Karena hampir seluruh warga organisasi berdomisili di Purwokerto, maka organisasi Perjalanan Tri Luhur masih bersifat lokal. Menurut catatan terakhir anggota Perjalanan Tri Luhur berjumlah 1220 orang yang terdiri dari berbagai kalangan pegawai negeri, dosen, petani dan lain sebagainya.
Awal tahun 1957 salah seorang anggota pindah tugas ke Banjarnegara. Dengan kepindahannya maka ajaran Perjalanan kebatinan Tri Luhur mulai berkembang di Banjarnegara dan akhirnya dibentuk cabang Banjarnegara dengan alamat di jalan Jagapati I/52 Banjarnegara dibawah asuhan Bapak Djuremi. Selanjutnya berkembang pula di Semarang (1962), Purbalingga (1964), Cilacap (1965), Denpasar (1967), Brebes (1967), Jombang (1969), Wonosobo (1977), Kebumen (1978).
Struktur awal Organisasi Perjalanan Tri Luhur terdiri dari Pinisepuh : Boedhi Kamoelyan SP,Ketua : Rustamaji dan Sekretaris Binrang. Susunan pengurus sekarang terdiri dari Pinisepuh Soekemi, Ketua Soetarto W,BA., Sekretaris Suyanto, BA., Bendahara Edi Kartiko dan beralamat di Jatiwinangun, gang Sembrodo no. 10 Purwokerto, 53114.
Menurut ajaran Perjalanan Tri Luhur, Tuhan mempunyai kekuasaan untuk menciptakan dunia semesta beserta segala isinya, disamping itu Tuhan juga merupakan sumber hidup dari segala kehidupan yang secara terus menerus akan memelihara dan melestarikan dunia semesta ini. Dengan demikian, manusia wajib menyembah dan memohon kepada Nya. Ajaran tentang manusia dari organisasi Perjalanan Tri Luhur meliputi asal usul manusia, struktur manusia dan kehidupan setelah kematian.
Kegiatan Perjalanan Tri Luhur dalam melaksanakan kegiatan ritual,manembah kepada Tuhan meliputi :
1. Sesuci, yaitu membersihkan diri dari perbuatan yang sifatnya kotor, tercela dan dosa, kemudian mengenakan pakaian yang bersih dan sopan.
2. Pembukaan, yaitu duduk sinuku tunggal/menghadap ke utara pada lantai yang bersih atau beralas tikar. Menghadap ke utara terkandung maksud bahwa utara adalah atas, hal ini karena Tuhan adalah di atas segala-galanya.
3. Pengalaman Pribadi, pada intinya adalah melaksanakan Tri Dharma, yaitu :
a. Dharma Bhakti, tugas dan kewajiban manusia untuk melaksanakan bakti sosial dalam masyarakat;
b. Dharma Suci,tugas dan kewajiban terhadap sesama manusia yang bersifat mental spiritual
c. Dharma Suci, tugas dan kewajiban manusia (warga Perjalanan Tri Luhur) sebagai manusia ber Kertuhanan untuk mengamalkan tugas-tugas kesucian dalammelaksanakan perintah dan kehendak Tuhan yang Mahakuasa dan Yang Mahasuci.

Kapribaden

Pada tanggal 29 April 1978, dihadapan 5 orang Putro, Romo menerbitkan satu-satunya Sabdo Tinulis, dengan huruf Jawa (Honocoroko), yang berbunyi “ROMO Mangestoni, Putro-Putro Kudu Ngakoni Putro ROMO” Sekalipun Putro yang menghadap waktu itu 5 (lima) orang, yaitu Dr. Wahyono Raharjo GSW, MBA (Alm), Ibu Hartini Wahyono, Drs. Soehirman, S. Parmin (Alm) dan Sakir. Tetapi Romo menyebut yang menghadap 4 orang, karena Wahyono dan Istrinya, bagi Romo selalu dihitung satu. Bahkan beliau dawuh, kalau yang sowan saat itu tidak ada wanitanya, maka akan ditinggal tidur oleh Romo.
Sabdo tinulis itu ditulis pada tutup kue dadar-gulung berwarna merah-putih. Penjelasan Romo : “ditulis ono tutup, kareban
Putro-Putro podo nyawang mengisor, sebab Putro-Putro isih pada nyawang menduwur. Ben podo nyawang sing urip ono ngisor kreteg”. Putro Putro yang sowan didawuhi memperbanyak sabda tinulis itu dan menyebar-luaskan ke semua Putro.
Putro Putro yang menghadap saat itu mohon petunjuk cara ”ngakoni Putro Romo”. Dan Romo ndawuhi membentuk Paguyuban yang kemudian bernama Paguyuban Penghayat Kapribaden. Sesuai dengan KTP Romo Semono maupun ibu Tumirin, tertulis Kapribaden.
Dr. Wahyono sampai 3 kali menolak, dengan alasan : “mangke mboten wurung nami / wahyono pun dhadhosaken ontran-ontran ing kalangan Putro Putro”. Kemudian Romo dawuh : “Siro ora pareng nolak, amorgo iki wis dikersakake Moho Suci”. Maka dengan sangat berat Dr. Wahyono akhirnya menyatakan sanggup. Dr. Wahyono mengemukakan syarat atau permintaan kepada Romo : “Dalem sagah, nanging nyuwun Romo Dhawuhi langsung Putro Putro, supados sampun ngantos Putro Putro nginten wontenipun paguyuban saking kajengipun Wahyono” Romo menyanggupi (bisa di cek melalui Bapak S. Soenarjo, Surabaya. Beliau langsung didawuhi Romo, tidak melalui Dr. Wahyono, bahkan kemudian Romo sendiri membagi-bagikan formulir bagi Putro-Putro)
Sewaktu 5 orang Putro yang sowan itu pamit pulang, sampai di depan kamarnya Romo Semono, lengan Dr. Wahyono beliau pegang dan disuruh menunggu di depan kamar Romo Semono. Ternyata beliau mengambil sesuatu yang dibungkus kain merah. Kain merah pembungkusnya beliau buang di lantai. Ternyata isinya sebatang tongkat berwarna coklat kehitam-hitaman. Tongkat itu ternyata dari Galih Kelor. Lalu beliau berikan kepada Dr. Wahyono dengan disertai sabdo : “Iki tongkat komando, jeneng siro wis ngerti tegese. Sopo wae sing mbangkang, sektiyo, Digdhayoa koyo ngopo, mbok dhudhul iki mesti modar. Siro ora usah was sumelang amargo sakabeheing bolo sirolah bakal sabiyantu marang jeneng siro. Iki sabdane Moho Suci, Tampanana” dari 4 orang yang berdiri di belakang Dr. Wahyono, saat itu ada 2 orang yang terlempar sampai membentur dinding di seberang.
Persiapan persiapan dilakukan. Saat itu sangat berat dan sulit, mengingat keberadaan Putro Romo masih dilarang oleh pihak pemerintah Orde Baru. (kemudian baru diketahui bahwa alasan sebenarnya adalah karena Bung Karno adalah Putro Romo, sehingga Romo Semono dicap sebagai gurunya Soekarno). Jadi berbagai langkah strategis dan taktis terpaksa dilakukan, dan akhirnya Paguyuban Penghayat Kapribaden bisa diresmikan berdirinya. Upacara ritual dilakukan di Sanggar Sasono Adiroso, sedang upacaranya di Anjungan Mataram Taman Mini Indonesia Indah. Tepatnya malam Senen Pahing 30 Juli 1978.
Sebelum peresmian, Putro Putro Jakarta sowan Romo dulu untuk mohon petunjuk.Kemudian, Dr. Wahyono diantar Bapak S. Hoetomo, menggunakan kendaraan kadhang Hendra Yudianto, yang juga ikut, 2 bulan keliling ke daerah-daerah, tanpa pulang, untuk membentuk Paguyuban di daerah-daerah, sekaligus mengantarkan pengurus di daerah mendaftar ke 5 instansi pemerintah. Kalau provinsi ke 7 instansi, Pusat ke 9 instansi. Ini agar Kapribaden diakui sah menurut Undang-Undang Negara. Tidak hanya resmi diakui Pemerintah.Kemudian dengan wadah Paguyuban Penghayat Kapribaden, bisa dipaparkan Paringan dan Wulang Wuluk Romo (secara umum disebut ajaran), sehingga diakui sah, yang berarti sah kalau dijalani, disampaikan kepada orang lain, di wilayah hukum Republik Indonesia.
Struktur organisasi Penghayat Kapribaden menurut data terakhir terdiri atas Pinisepuh Dr. Wahyono Raharjo; Ketua Soedardi, Sekretaris Sumadi Wijaya, Bendahara Sakijan. Pusat Paguyuban berada di kompleks Masjid, RT 10/04 Jl. Buchari Sukarjo no. 9 Ds. Limo Cinere, dan cabangnya berjumlah 13 yang berada di Jakarta Timur, Kota Malang, Pemalang, Pekalongan, Demak, Kota Semarang, Klaten, Karanganyar, Sukoharjo, Magelang, Jepara dan Cilacap, serta Surabaya. Menurut catatan terakhir, anggotanya mencapai 4182 yang berasal dari berbagai kalangan dan tersebar di Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kamis, 08 Januari 2009

Mengenal aliran kepercayaan terhadap Tuhan YME (2)

a. Sejarah berdirinya Paguyuban Kapribaden dapat diuraikan Sebelum tahun 1900, seorang isteri "padhemi" (isteri resmi), dibuang dalam arti diberikan kepada seseorang yang dinilai berjasa. Itu karena desakan seorang "selir" yang sangat dicintai. Hal demikian, tidak jarang terjadi pada jaman itu. Isteri "priyagung" itu bernama Dewi Nawangwulan. Kepergiannya, disertai seorang dayang (emban), bernama Rantamsari. Dewi Nawangwulan, dibuang ("dhikendangake"), dan diberikan kepada Ki Kasandhikromo, yang sering juga disebut Ki Kasan Kesambi, seorang tokoh spiritual pada jamannya, yang berdiam di desa Kalinongko, Gunung Damar, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Saat dibuang, Dewi Nawangwulan dalam keadaan mengandung. Lahir bayi yang diberi nama Semono, ibunya Dewi Nawangwulan wafat. Tidak lama kemudian disusul Rantamsari, dayangnya juga meninggal dunia. Keduanya dimakamkan di puncak Gunung Damar Purworejo. Ki Kashandhikromo, tidak pernah mau menganggap, apalagi memperlakukan Dewi Nawangwulan sebagai isterinya. Tetap dianggap dan dia perlakukan sebagai "ratu" -nya . Demikian pula isterinya, Nyi Kashandhikromo. Semono dipelihara dan dibesarkan Ki Kashandhikromo. Di sekolahan Sekolah Ongko Loro (SD yang 5 tahun tamat untuk pribumi). Semono yang lahir tahun 1900, harinya Jumat Pahing. Tidak ada catatan resmi tanggal dan bulannya. Hal biasa pada jaman itu. Semono, semasa sekolah, setiap hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, membolos. Bukan karena malas atau nakal, tetapi karena malu. Pada saat matahari tepat di atas, saat semua orang tidak ada bayangannya. Semono bayangannya 12. Karena selalu jadi tontonan teman-temannya, jadi malu. Maka lebih baik membolos. Tamat SD itu, langsung diangkat jadi Guru Bantu. Suatu hari, pemuda Semono yang saat itu berumur 14 tahun (sudah dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa pada jaman itu), disuruh Nyi Kasan, mengambilkan minyak, di dalam salah satu bilik rumah mereka. Ternyata, di dalam bilik itu, tertidur lelap seorang gadis kemenakan Nyi Kasan. Dalam kelelapan tidurnya, kain yang dipakai tersingkap, jadi tubuhnya kelihatan terbuka. Pemuda Semono, melihat hal itu, "Mengkorok" (Berdiri bulu bulu di tubuhnya). Semono lalu merenung. Mempertanyakan, apa sebenarnya yang menggerakkan bulu bulu tubuhnya itu ?. Renungan demi renungan, tidak menemukan jawab. Akhirnya Semono memutuskan, minta ijin Ki Kasan untuk pergi bertapa. Semono yang berusia 14 tahun itu, bertapa di tepi laut Selatan, di Cilacap. Bekasnya (petilasannya) masih ada sampai saat buku ini ditulis. Berupa dua rumpun bambu, di dalam kompleks Pertamina. Pertamina, sekalipun sudah berusaha dengan berbagai cara, tidak bisa membongkar kedua rumpun bambu itu. Semono bertapa selama 3 tahun (1914 - 1917). Hasilnya mendapat "Cangkok Wijoyo Kusumo". Berbentuk seperti bunga kering, berwarna coklat kehitaman. Kalau dimasukkan air, akan mengembang sebesar tempatnya. Semono kecewa, karena bukan itu yang dicari. Beliau mendapat "wangsit" (ilham), untuk melanjutkan laku sampai tahun kembar 5, dan di timur nantinya akan dia temukan apa yang dia cari. Baju yang dikenakan Semono selama 3 tahun bertapa, hancur. Dengan hanya bercawat dedaunan, Semono pulang. Jalan malam Siang sembunyi, malam jalan. Takut akan malu kalau bertemu orang. Sampai di rumah, bukannya dirayakan, tetapi malah sudah disediakan lubang ("luweng"), lalu pemuda Semono oleh Ki Kasan, ditanam ("dhipendem"), selama 40 hari 40 malam. hanya diberi batang gelagah untuk bernafas. Dan setiap usai menanak nasi, Nyi Kasan mengepulkan asap nasi itu ke dalam lubang gelagah. Selanjutnya, Semono sambil menjadi Marsose (sekarang marinir), berkelana, tetap menjalani laku. Kalau siang dinas, malamnya berendam di laut, menjala. Tidak pernah dapat ikan. Itu dilakukannya sampai tahun 1955. Tanggal 13 malem 14 November 1955, kebetulan jatuh malem Senen pahing, pukul 18.05, banyak orang di Perak Surabaya, terkejut, menyaksikan rumah Letnan KKO ( sekarang Letnan Satu Marinir), terbakar. Tetapi setelah didekati , ternyata bukan api, melainkan cahaya. Bahkan ada kereta keemasan (kreto kencono) di langit, yang turun masuk ke rumah Letnan Semono). Di Jalan Perak Barat No. 93 Surabaya. Peristiwa itulah yang dikenal sebagai mijilnya Romo Herucokro Semono. Pernyataan beliau saat Mijil, menyatakan bahwa "Ingsun" Mijil, arso nyungsang bawono balik, arso nggelar jagat anyar. "Ingsun" (bukan aku) mijil hendak memutar-balikkan jagad (maksudnya jagat kecil, pribadi manusia, micro cosmos), dan hendak menggelarkan dunia baru (micro cosmos baru). Artinya, kalau selama ini, kita selalu memperbudak Hidup, selanjutnya terbalik, kita sebagai manusia akan menjadi abdi-nya Sang Hidup. Mulai saat itu, Romo Herucokro Semono memberikan siapapun yang menghendaki (tidak ada paksaan, tidak menakut-nakuti dengan cara dan jalan apapun), yang ingin Hidup bahagia (Tentrem), agar bisa mencapai "Kasampurnan Jati" (moksha) pada saatnya. Apa yang beliau berikan, akan bisa diikuti dalam bab bab berikut . Romo Herucokro Semono, selanjutnya memberikan Laku Kasampurnan ini, sesudah dinas. Berlangsung sampai tahun 1960. Beliau menjalani masa pensiun sebagai Kapten Marinir. Beliau lalu pulang ke Purworejo dan berdiam di Kalinongko dan Sejiwan, Loano, Purworejo (2 rumah kediaman). Setiap hari, beliau menerima kedatangan rata rata 500 orang lebih. Semua orang, pada waktu makan, diberi makan dan yang menginap, dengan bebas mencari tempat untuk tidur, di rumah beliau. Tentunya berbagai keperluan orang yang datang. Mulai dari meminta pengobatan penyakit yang dokter sudah tidak sanggup mengobati, dengan seketika sembuh, memohon restu untuk sesuatu, dan lain-lain. Tetapi tidak sedikit yang datang untuk memohon bisa mengikuti Laku Kasampurnan (disebut mohon dipekenankan menjadi Putro). Berdatangan orang dari berbagai penjuru dunia, melalui berbagai sebab (jalaran), yang akhirnya menjadi Putro. Selama 25 tahun lebih (13 malem 14 November 1955 s/d 3 Maret 1981), Romo Semono melayani pagi, siang, sore, malam, dini hari, siapapun yang datang . Semua yang datang, diperlakukan 100% sama. Beliau tidak pernah memandang orang dari perbedaan apapun. Derajat-pangkat, kekayaan kedudukan sosial, suku, bangsa, semua diperlakukan 100% sama. Kalau beliau sedang memberikan petuah ("wulang-wuruk"), setiap orang mendengar menurut bahasanya sendiri sendiri. Yang orang Jerman mendengar beliau berbicara bahasa Jerman, yang orang Inggeris mendengar beliau berbahasa Inggris, sedang penulis mendengar beliau berbahasa Jawa. Romo Semono, setiap harinya, makan dua kali. Tetapi tiap kali makan, hanya satu sendok. Tidurnya, hampir tidak pernah. Hampir tidak pernah mandi, tetapi selain tidak berbau badan beliau, juga tidak ada daki (kotoran) di kulit beliau. Tubuh tetap sehat, gagah, tinggi besar. Hal hal luar biasa, atau mujijat yang beliau tunjukkan, kalau ditulis semua akan menjadi satu buku tersendiri. Beberapa contoh saja, misalnya sekitar tahun 1960, beliau naik sepeda motor militer, di atas laut Jawa, menyeberang ke Madura. Kalau mengemudikan mobil, tangan dan kaki beliau dilepas, dan mobil dikomando dengan ucapan. Beberapa kali orang menyaksikan beliau menghidupkan orang, yang telah dinyatakan mati oleh dokter, dan siap dikubur. Beliau sering berada di beberapa tempat pada saat yang sama, dan di tiap tempat beliau makan minum seperti biasa. Setiap kali, sekalipun dihadapan beliau menghadap ratusan orang, beliau bercerita. Dan setelah selesai bercerita, ternyata semua pertanyaan dan persoalan yang ada di benak yang hadir, sudah terjawab semua. Mudah-mudahan, suatu saat penulis bisa mengumpulkan pengalaman pengalaman para "kadhang", yang tidak masuk akal, tetapi benar benar terjadi, dan mujijat mujijat Romo Herucokro Semono yang mereka saksikan, dan bisa penulis bukukan tersendiri. Romo Semono wafat tanggal 3 Maret 1981, dan dimakamkan di Kalinongko, Loano, Purworejo. Romo Semono tidak dikaruniai anak. Tetapi meninggalkan ratusan ribu, mungkin jutaan Putro, yang tersebar di mana mana.Dan peninggalan beliau yang paling berharga adalah Sarana sarana Gaib, bagi mereka yang ingin Hidup bahagia (Tentrem), agar bisa menjalani dan mencapai "Kasampurnan jati" pada saatnya masing masing. Tinggalan beliau yang terakhir inilah yang sampai sekarang, dipelihara ("dhipepetri") dan dilestarikan oleh Putro-putronya. Dilestarikan, dalam arti tetap dihayati dan diamalkan dan diberikan kepada siapa saja yang menghendaki, tanpa memandang perbedaan apapun yang ada pada manusianya. Jadi, sifatnya universal.
b. Kawruh Kasunyatan Kasampurnan Pusoko Budi Utomo, yang diketemukan oleh Bapak Tulus alias Asmo Hutomo pada tanggal 14 malam 15 suro 1940, mellui tapa brata di sumber celeng Desa Parerejo Kediri, dan menerima wangsit atau petunjuk gaib berupa pepali/wewaler dan lelaku kang kanggo ngertapake ngemban pusoko budi utomo Bapak Hardjo Tulus yang tinggal di Desa Sidomulyo Pare Kediri meninggal dalam usia 84 tahun. Sebenarnya tidak terlepas dari ajaran Domas Makuthoromo, yakni ajaran dari eyang Romo Jati sebagai orang yang pertama kali menerima wangsit, dan ajaran tersebut lebih menekakankan tentang keselamatan pribadi (olah kanuragan). Selanjutnya ajaran Kawruh Kasunyatan kasampurnan Pusoko Budi Utomo diteruskan oleh Bapak Sampun yang tinggal di desa Mojoruntut Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo. Kawruh Kasunyatan Kasampurnan Pusoko Budi Utomo berarti pengetahuan berharga peninggalan leluhur yang bertujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup secara lahir batin.

Selasa, 06 Januari 2009

Mengenal aliran-aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (1)

R.Otto Bambang Waahyudi

Sejarah terbentuknya BKOK
Di Indonesia telah bertebaran paguyuban atau sekte-sekte mistik kejawen. Anggota paguyuban membentuk aneka ragam kelompok yang dikenal dengan istilah kebatinan Jawa. Mereka umumnya termasuk penganut aliran kepercayaan, Meskipun tidak seluruhya. Artinya ada juga pelaku mistik kejawen yang bukan anggota salah satu aliran kepercayaan. Sebaliknya para penganut aliran kepercayaan biasanya banyak melakukan laku-laku mistik.
Beberapa organisasi atau paguyuban mistik yang sampai sekarang berkembang di masyarakat berjumlah 247 organisasi, diantaranya yaitu Sapta Dharma, berdiri tahun 1956 pusat di Yogyakarta, Pangestu berdiri tahun 1949 pusat di Jakarta, Sumarah berdiri tahun 1942 berpusat di Jakarta, Perwathin berdiri tahun 1963 berpusat di jakarta, Panunggalan berdiri tahun 1963 berpusat di Solo.
Diantara organisasi-organisasi tersebut ada yang sudah berhasil membukukan “wahyu” yang diterimanya, antara lain Pangestu dalam buku Sasangka Djati, disamping itu ada juga beberapa paguyuban mistik yang telah menjadi perhatian Geertz, yakni Budi Setia, Kawruh Kasunyatan, Ilmu Sejati, Kawruh Begja, yang masing-masing berpusat di Mojokuto (Geertz, 1989 : 453-471)
Dari berbagai paguyuban atau aliran tersebut ada yang tergolong besar dan aliran kecil. Diantara paguyuban mistik kejawen yang telah tergolong aliran besar dan termasuk tertua adalah Hardapusara, berdiri tahun 1895 di Purworejo oleh Ki Kusumawicitra. Ia pada awalnya menerima wangsit, yang sekarang ajarannya termaktub dalam kawruh Kasunyatan Gaib. Ajaran ini dimasukkan dalam dua buah buku berjudul Kawulo Gusti dan Wigati. Sedangkan Susila Budi Darma (SUBUD) didirikan tahun 1925, tidak mau disebut gerakan kebatinan, namun bernama “Pusat latihan penjiwaan”. Paguyuban ini menghasilkan buku ajaran berjudul Susila Budi Darma. Dewasa ini SUBUD telah berkembang di hampir pelosok dunia.
Atas permintaan dari pemerintah melalui Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Dit Bin Yat), yang disampaikan secara tertulis berupa makalah resmi dan dibacakan pada acara Pembinaan Pamong Budaya Spiritual di Cipayung tanggal 22 – 24 Nopember 1994, dan didukung oleh instansi terkait yaitu Departemen Dalam Negeri, Mabes POLRI dan Kejaksaan Agung, agar para penghayat membentuk Wadah Nasional Tunggal Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang sesuai dengan UU No. 8 tahun 1985 dan PP No. 18 tahun 1986, yaitu sebuah Wadah Nasional Tunggal yang beranggotakan Organisasi Organisasi Kepercayaan dan Kelompok Penghayat Perseorangan (bukan penghayat perseorangan). Adapun permintaan itu disampaikan karena wadah/organisasi yang lama yaitu Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) sejak tahun 1990 DPP-nya demisioner dan belum dapat memenuhi fungsinya sebagai Wadah Nasional Tunggal, serta keanggotaannya tidak sesuai dengan UU No. 8 tahun 1985 dan PP No. 18 tahun 1986.
Para sesepuh/pinisepuh penghayat kepercayaan tingkat nasional yang hadir kemudian berunding dan setuju untuk membentuk Wadah Nasional Tunggal yang BARU yang sesuai dengan UU No. 8 tahun 1985 dan PP No. 18 tahun 1986, dan merencanakan untuk mengadakan Musyawarah Nasional Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Pada kesempatan itu juga dibentuklah Panitia 9 (terdiri dari pribadi-pribadi) yang mempersiapkan materi Munas dan Panitia 5 (terdiri dari wakil organisasi-organisasi) untuk memprakarasai terselenggaranya Munas.
Namun karena ijin dari Presiden tidak kunjung turun maka rencana Munas tersebut akhirnya tertunda-tunda sampai kemudian Presiden Suharto “lengser keprabon” dan bergulirlah masa reformasi. Panitia 5 kemudian melanjutkan rencana untuk mengadakan Munas Kepercayaan. Dengan bantuan dana dari Direktorat / Pemerintah serta partisipasi dari para peserta yang hadir mewakili organisasi-organisasi kepercayaan tingkat pusat, maka terselenggaralah Musyawarah Nasional Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, pada tanggal 9 – 10 Oktober 1998 yang dibuka dan ditutup oleh (Pjs) Direktur Bina Hayat Bp. DR. I Gusti Ngurah Anom. Adapun Wadah Nasional yang baru tersebut kemudian diberi nama Badan Kerjasama Organisasi-Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (B.K.O.K.) yang anggotanya adalah Organisasi Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Kelompok Penghayat Perseorangan (bukan penghayat perseorangan).
Dewasa ini penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Naha Esa terwadahi dalam beberapa jenis wadah sebagai berikut :
1. Organisasi / Paguyuban Penghayat.
Organisasi/ Paguyuban adalah wadah penghayat yang anggotanya memiliki satu macam ajaran (homogin).
Pada umumnya organisasi/paguyuban penghayat sudah mempunyai
a. Susunan pengurus
b. AD/ART
c. Program kerja
d. Isi ajaran
Tingkat organisasi paguyuban ada tiga
a. Tingkat Nasional.
b. Tingkat Propinsi.
c. Tingkat Kabupaten/Kodya
Status Organisasi/Paguyuban
a. Berstatus Pusat
b. Berstatus Cabang
Menurut data tahun 1993 terdapat 243 organisasi/paguyuban berstatus pusat, dan 193 cabang, yang hanya berasal dari beberapa organisasi berstatus pusat.
2. Kelompok penghayat Perseorangan.
Kelompok Penghayat perseorangan adalah wadah penghayat yang anggotanya terdiri dari penghayat yang memiliki ajaran yang berbeda-beda atau Heterogen.
Menurut data tahun 1993 baru tercatat satu organisasi.
3. Penghayat Perseorangan
Penghayat perseorangan adalah penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang menganut ajaran tersendiri tidak berinduk pada ajaran lain, dan tidak mempunyai pengikut.
Data tahun 1993, belum terdata, sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti jumlahnya.
1. Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (HPK) Adalah Himpunan penghayat yang beranggotakan Organisasi penghayat, kelompok penghayat perseorangan, dan penghayat perseorangan.
Organisasi HPK ini dimaksudkan sebagai Wadah Nasional Tunggal Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maya Esa.
Organisasi HPK mempunyai
a. Kepengurusan :
1) DPP
2) DPD Tk 1
3) DPD Tk 11
b. AD/ART
c. Program Kerja
Data tahun 1993 kepengurusan HPK adalah
a. DPP : Demisioner
b. DPD Tk I : 12 Propinsi
c. DPD Tk 11 : 52 Kab/Kodya


2.4.2. Konsep Ajaran Kejawen
Bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang terbentuk dari suatu proses sejarah yang panjang dari ZAMAN PRASEJARAH umat manusia yaitu ditemukannya Phitecantropus Erectus, Phithecantropus Javanicus, Homo Soloinsies, kemudian ZAMAN SEJARAH dari berbagai unsur SARA, kelompok pemangku adat, kerajaan – kerajaan beserta peninggalan - peninggalannya ( Candi BOROBUDUR ) , hingga menjadi negara besar pada jaman SRIWIJAYA, kemudian mengalami penurunan atau terpecah - pecah namun kembali menyatu pada jaman MAJAPAHIT lalu mengalami penurunan kembali hingga terbentuklah sekarang Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ).
Komunitas kejawen yang amat kompleks, telah melahirkan berbagai sekte dan tradisi kehidupan di Jawa. Bahkan, di dalamnya terdapat paguyuban-paguyuban yang selalu membahas alam hidupnya. Paguyuban tersebut bersifat mistis dan didasarkan konsep rukun. Modal dasar dari komunitas ini hanyalah tekad dan persamaan niat untuk memelihara (nguri-uri) tradisi leluhur dan masing-masing paguyuban memliki cara dan jalan sendiri yang khas kejawen.
Masing-masing wilayah kejawen, juga memiliki pedoman dan cara yang khas serta kosmogoni dan mitos tersendiri sesuai dengan wilayah yang didiami. Mitos-mitos tersebut juga ada yang dijadikan kiblat hidup, ditaati, dipuja dan diberikan tempat tersendiri yang istimewa, demikian pula dengan laku mistik, meskipun kadarnya berbeda satu sama lain tetapi kekhasan kejawennya terasa kental.
Orang Tengger di Jawa Timur memiliki falsafah mistik tersendiri. Masyarakat Tengger meyakini bahwa nama Tengger berasal dari tokoh mistis Rara Anteng dan Joko Seger. Kedua tokoh ini sangat dipuja oleh masyarakat Tengger. Pemujaan dilakukan secara mistis dan menggunakan slametan. Orang Banyuwangi menganggap bahwa mitos Minakjingga dan isterinya Sita sebagai simbol reproduksi (Beatty, 2001 : 223-224). Hal ini dapat dirunut dari kata Jingga (merah) dan Sita (putih). Warana merah dan putih adalah gambaran sesaji jenang abang putih yaitu representasi asal usul manusia atau berasal dari ibu dan ayah.
Konsep Kejawen yang masih sangat kental di Jawa Timur adalah sikap dan perilaku orang Samin yang berdiam di daerah perbatasan Bojonegoro, dan Blora, dimana ajarannya sampai sekarang masih dipatuhi dan ditaati. Sejarah ajaran Samin Ajaran Samin (Saminisme) yang disebarkan oleh Samin Surosentiko (1859-1914), adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan terhadap kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati. Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini di dapat dari ayahanda, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, dimana banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata “sami-sami amin” yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan langkah membrandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat miskin. Kyai Samin Surosantiko tidak hanya melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara ceramah dipendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi dari ceramah ini yaitu keinginan membangun kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam dan jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti.
Namun akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko di cekal oleh Belanda dan dibuang di Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat mengaktualisasikan seluruh ide-idenya. Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan kitab orang Samin yang ditulisnya juga di sita yang berjudul, Serat Jamus Kalimasada demikian pula dengan kitab-kitab pandom kehidupan orang-orang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Sehingga masa kepemimpinannya, ajaran Saminisme terbagai dalam dua sekte, yaitu sekte Samin Sepuh dan sekte Samin Anom. Siklus kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja lahir dan batin. Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah petani biasa, namun dia adalah cucu dari seorang pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan kalam untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.
Ajaran Samin bersumber dari agama Hidhu-Dharma. Beberapa sempalan ajaran Kyai Samin yang ditulis dalam bahasa jawa baru yaitu dalam bentuk puisi tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara historis ajaran Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha sebagai sinkretisme antara hindhu budha. Namun pada perjalannanya ajaran di atas dipengaruhi oleh ajaran ke-Islaman yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang di bawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga patut di catat bahwa orang Samin merupakan bagian masyarakat yang berbudaya dan religius.
Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) diantaranya di Tapelan (bojonegoro), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunungsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan). Ajaran di beberapa daerah ini merupakan sebuah gerakan meditasi dan mengerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa nafsu.
Sebab perlawanan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan penguasa pribumi setempat dalam menjalankan pemerintahan di Randublatung. Tindakan perlawanan ini dalam bentuk gerakan mogok membayar pajak, mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian tanpa membayar karcis kereta dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda geram dan meyinggung banyak pihak yang menimbulkan kontradiksi yang tak kunjung padam dan membara.
Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih mengakui bahwa Kyai Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa yang menjadi penghuni kaswargan. Tokoh ini dimitoskan secara fanantik, bahkan pada momentum perayaan upacara rasulan dan mauludan sebagai ajang untuk mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin selalu berbegangan sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan antarwarga Samin .
Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa kawi yang ditambah dengan dialek setempat, yaitu bahasa kawi desa kasar. Orang Samin memiliki kepribadian yang polos dan jujur hal ini dapat dilihat setiap ada tamu yang datang, orang Samin selalu menyuguhkan makanan yang dimilikidan tidak pernah minyimpan makanan yang dimilikinya. Pengatahuan orang Samin terhadap ritus perkawinan adalah unik, mereka menganggap bahwa dengan melalui rites perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan dan tanggung jawab sosial. Orang Samin percaya dalam menuju kemajuan harus dilalui dengan marangkak lambat. Hal ini dapat dilihat dengan perilaku menolak mesin seperti traktor, huller dan lain-lain. Pakaian yang digunakan orang Samin adalah kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat dari kain kasar.
Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara hidup. Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut Samin Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya fanatik, tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma.
Beberapa pikiran orang Samin diantaranya; menguasai adanya kekuasaan tertinggi (sang Hyang Adi budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk, tidak terikat kepada barang-barang dunia-kegembiraan-dan kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin dikalangan antar warga. Orang Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli pribumi, yang bebas dari campur tangan orang kulit putih, tiada dominasi barat satupun. Ajaran politik yang dikenakan pada suku Samin yaitu cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan hormat akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani, hormat dan setia pada dunia intelektual. Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran: (1) tidak bersekolah, (2) tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu, (3) tidak berpoligami, (4) tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut, (5) tidak berdagang. (6) penolakan terhadap kapitalisme. Konsep Ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya Masyarakat Samin : Keseimbangan , Harmonisi , Kesetaraan Keadilan. Adalah prinsip dan falsafah hidup Masyarakat Samin tetap diyakini sampai saat ini Tahun 2006 . Dengan Tradisi Lisan menjaga Budaya dan Tradisi Lisan kepada generasi dan keturunan tingkat ke 4 adalah suatu hal yang perlu mendaatkan penelitian, yang berlanjut kepada pengakuan akan keberadaan Masayarakat Samin yang mempunyai kekhasan dalam bersikap dan bertindak. Masyarakat statis menjaga tradisi untuk kelanggengan keyakinan. Penelitian Budaya Masyarakat Samin oleh Stefanus Laksanto ( S3 Undip).
Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati) ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa.
Masyarakat Ponorogo juga memiliki semboyan mistis “jangan mengaji di pondok, mengajilah di Ponorogo”. Ponorogo adalah salah satu kota di Jawa Timur yang terkenal mistiknya. Ponorogo berasal dari kata Pono (tahu) dan rogo (tubuh). Berarti mengaji di Ponorogo sesungguhnya merupakan pencarian diri tentang ngelmu tubuh. Ngelmu tubuh adalah ilmu tentang kesempurnaan hidup.
Begitu pula wilayah Yogyakarta yang sampai saat ini mempercayai Ratu Kidul sebagai representasi kehidupan mistik Panembahan Senopati. Mitos ini telah meluas dan mewarnai segala perilaku kehidupan kejawen. Dan masyarakat kejawen tidak akan lepas dari aspek-aspek adikodrati yang perlu diperhatikan. Kekuatan adikodrati tersebut diyakini sungguh-sungguh, karena akan membantu laku mistik yang mengantarkan tindakan batin. Melalui tindakan batin tersebut mereka akan menguasai ngelmu kasidan jati, artinya ilmu yang menjadi tuntunan hidup-mati yang sempurna.
2.4.3. Konsep aliran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Keberadaan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wadah yang berbentuk organisasi secara umum, dahulunya hanya merupakan kumpulan orang-orang yang mengajarkan pengetahuan tentang arti hidup dan kehidupan. Secara empiris asalah usul kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha esa dapat dikategorikan menjadi beberapa hal, antara lain :
a. Pengetahuan yang didapat dari seorang guru yang kemudian disebar luaskan kepada orang terdekatnya dan akhirnya menyebar kepada masyarakat
b. Ajaran yang berdasarkan wangsit atau pengetahuan yang didapat dari luar alam tak sadar
c. Ajaran yang didapat dari roh leluhur atau sejenisnys.
Hakikat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat dikemukakan sesuai dengan hasil sarasehan nasional Badan kerjasama organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (BKOK) tanggal 30 mei 1999 adalah :
1. Hanya ada satu Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan dan menguasai alam semesta.
2. Manusia diberi Roh oleh Tuhan Yang Maha Esa dan adalah ciptaanNya yang paling sempurna.
3. Raga berasal dari sari alam (tanah, air, hawa dan api) dan akan kembali ke asalnya, sedangkan Roh yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa seharusnya langsung kembali kepadaNya.
4. Hanya Roh yang dapat berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, manusia harus mengenal Rohnya sendiri untuk dapat menerima petunjuk, tuntunan dan lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
5. Penghayatan spiritual, bukan karya budaya manusia, tetapi anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
6. Hukum Tuhan Yang Maha Esa berlaku mutlak di seluruh alam semesta.
7. Setiap manusia bertanggung jawab langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa atas apa yang diperbuatnya.
8. Mencintai sesama manusia dan segala ciptaan Tuhan Yang Maha Esa adalah landasan menuju kedamaian dan kebahagiaan dunia (memayu hayuning bawana).
9. Perilaku manusia yang berbudi pekerti luhur (moral dan etika) akan menciptakan kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang.

Senin, 05 Januari 2009

PRANATA MANGSA

PRANATAMANGSA
HARI-BULAN-MUSIM-TAHUN MENURUT AJARAN JAWA
R.Otto Bambang Wahyudi
Tentang Hari dalam warisan Jawa

Orang Jawa sebagai keturunan bangsa asli penduduk tertua, juga mempunyai bukti diberi warisan berupa Hari-bulan-musim untuk perhitungan tahun yang bersifat asli, tidak mengambil, tidak meniru dan juga tidak berasal dari bangsa asing yang datang ke pulau Jawa.
Hari jawa yang bersifat asli peninggalan dari leluhur pada jaman dahulu ialah yang sekarang ini disebut Pasaran, terdiri dari 5 hari dengan urutan nama : kliwon – legi – paing – pon – wage. Lima hari tersebut dinamakan pasaran, karena masing-masing nama itu sejak jaman kuno digunakan untuk menentukan dibukanya pasar bagi para pedagang, sehingga pada hari yang ditentukan, untuk suatu pasar akan banyak dikunjungi pedagang yang menjual dagangannya, dan banyak dikunjungi orang yang berbelanja.
Sampai tahun 1983, ketentuan yang demikian masih berlaku, terutama bagi pasar-pasar di perdesaan. Kecuali dijadikan ketentuan waktu banyaknya orang berjualan dan berbelanja untuk sesuatu pasar, ada pula yang dijadikan nama suatu pasar dan kampung yang pasarnya mendapat ketentuan waktu dari salah satu hari tersebut. Misalnya di Kota kediri terdapat Pasar Pahing dan sebagainya.
Pasaran tersebut menurut peninggalan para leluhur diambil dari nama 5 roh bagian pokok dari jiwa manusia yang sudah menjadi pengetahuan dan keyakinan leluhur orang Jawa sejak jaman purba sampai sekarang. 5 macam roh manusia yang menghidupi jasmani, urutan namanya sama dengan urutan nama 5 hari pasaran tersebut.
Tentang asal mulanya terdapat pengetahuan tentang lima macam roh manusia itu diuraikan dalam bentuk cerita sandi atau lambang didalamkitab Kerotoboso, tentang lelakon raja Widoyoko di negeri Medangkamulan, diantaranya : “Marengi mongso palguno nuju ratri purnomo sidhi, prabu Widoyoko kedatengan utusanipun Hyang Jagad Waseso ingkang kautus Nayoko nomo: Bathoro Legi, Bathoro Paing, Bathoro Pon, Bathoro Wage, Bathoro Kliwon jejuluk Bathoro Kasihan”.
Untuk perhitungan hari dan yang lazim digunakan untuk urutan nama dalam ilmu kerohanian, kliwon adalah yang pertama, kemudian legi,paing,pon dan wage. Sebab kliwon itu yang terutama menjadi pusatnya.
Cerita sandi tersebut mengandung hakikat bahwa raja (widoyoko) ialah untuk kiasan orang yang tinggi tingkatan serta ilmu kerohanian. Bagi orang Jawa menjadi lambangnya orang linuwih yang katarimo oleh Tuhan yang disebut Hyang Jagad Waseso, sehingga orang linuwih itu dapat bertemu dan mengetahui serta mengenal bagian kerohanian atau jiwanya sendiri yang terdiri dari 5 macam bernama Kliwon(kasihan), legi, paing, pon dan wage.
Dalam masyarakat Jawa, 5 macam roh itu pada umumnya disebut sadulur papat lima pancer, yaitu 4 saudara, yang kelima (kliwon) menjadi pusatnya, ialah yang dalam kejawen disebut ingsun, dan yang pada umumnya disebut sukma yaitu jiwa manusia yang tunggal unsur dengan Dhat Tuhan, itu termasuk menjadi kepercayaan Trimurti ke Tuhanan dari leluhur orang Jawa sejak jaman dulu yang masih terus berlangsung sampai sekarang.
Sedangkan 4 saudara lainnya itu adalah terdiri dari roh anasir alam yang menjadi raga manusia, yaitu tanah, air, api dan udara. Sedan yang dianggap saudara ialah raga. Dengan demikian cerita raja Widoyoko didatangi 5 menteri utusan Tuhan tersebut sebetulnya mengandung hakikat merupakan media untuk membentangkan atau untuk menguraikan tentang pengetahuan sadulur papat lima pancer yang menjadi pedoman unsur kerohanian dari leluhur jaman purba.
Disamping itu 5 hari pasaran tersebut juga dijadikan titikan bagi perangai seseorang menurut hari pasaran kelahirannya. Misalnya orang yang kelahirannya jatuh pada pasaran kliwon, ia diperkirakan mempunyai kecerdasan luas, peka perasaannya, supel/luwes, suka akan ilmu kerohanian. Orang yang kelahirannya pada pasaran legi, diperirakan mempunyai perangai tenang, jujur, tebal rasa kasih sayangnya,pasaran paing mempunyai dasar watak berangasan, suka marah, berkemauan keras, agresif. Pon mempunyai dasar perangai besar nafsu keinginannya akan soal-soal keduniawian, besar nafsu birahinya. Wage dasar wataknya egoistis, suka bermalas-malasan, dengan makan enak.

Tentang Bulan menurut warisan Jawa

Selain itu leluhur juga mewarikan pengetahuan tentang perhitungan bulan yang bersifat asli,yaitu : (1) Koso, (2) Karo, (3) Ketigo/Katelu, (4) Kapat, (5) Kalimo, (6) Kanem,(7) kapitu, (8) Kawolu, (9) Kesongo, (10) Kesepuluh, (11) Apit lemah, (12) apit kayu.
Pada jaman dahulu bulan jawa tersebut terutama digunakan ebagai pedoman melaksanakan urusan pertanian, mengerjakan sawah dengan memperhitungkan turunnya hujan, dan bilamana hujan mulai menipis. Oleh karena itu nama bulan tersebut sering juga disebut dengan Pranata mangsa atau musim.
Bulan Jawa tersebut berpedoman pada peredaran musim, dari itu bulan Jawa asli juga berdasarkan atas jalannya peredaran matahari. Jadi termasuk perhitungan tahun surya atau tahun matahari, sama dengan perhitungan tahun saka dan tahun masehi.Karena perhitungan umurnya yang asli, sudah tidak dapat diketahui, sehingga untuk memudahkan pengertian cara menyesuaikan perhitungannya dengan bulan tahun masehi, umurnya bulan Jawa itu diambilkan dari bulan tahun masehi, sehingga dapat disusun sebagai berikut :
1. Koso = Juni umur 30 hari
2. Karo = Juli umur 31 hari
3. Ketigo/Katelu = Agustus umur 31 hari
4. Kapat = Sptember umur 30 hari
5. Kalimo = Oktober umur 31 hari
6. Kanem = Nopember umur 30 hari
7. Kapitu = Desember umur 31 hari
8. Kawolu = Januari umur 31 hari
9. Kasongo = Pebruari umur 28/29hari
10. Kasepuluh = Maret umur 31 hari
11. Apit lemah = April umur 30 hari
12. Apit kayu = Mei umur 31 hari

Tentang Musim menurut Warian Jawa

Kecuali nama hari dan bulan Jawa asli yang masih dapat diketahui dan dimengerti sampai sekarang seperti tersebut diatas, leluhur orang Jawa juga mewariskan nama musim jawa asli yang terdiri dari 4 macam, yaitu : (1)Mareng, (2) Ketigo, (3) Labuh, (4)Rendheng
Kalau disesuaikan dengan pembagian bulan Jawa asli tersebut dapat disusun urutan sebagai berikut :
1. Mareng, meliputi bulan Apit kayu – Koso – Karo = Mei – Juni – Juli, yaitu hujan makin surut atau makin berkurang
2. Ketigo, meliputi bulan Ketigo/Katelu – Kapat – Kalimo = Agustus – September – Oktober, yaitu musim panas/kering
3. Labuh, meliputi bulan Kanem – Kapitu – Kawolu = Nopember – Desember – Januari, yaitu musim sering turun hujan
4. Rendheng, meliputi bulan Kesongo – Kasepuluh – Apit lemah = Pebruari – Maret – April, yaitu musim banyak hujan/penghujan.

Pengaruh hindu

Ahli sejarah menyatakan bahwa waktu hindu masuk ke pulau Jawa, mereka juga membawa nama hari dan bulan dan angka perhitungan tahun yaitu tahun saka. Nama-nama tersebut berasal dari bahasa sansekerta dan disebut VAIA, artinya hari, yaitu :
1. Aditya ucapan Jawa : Radite´/Dite´ = akad
2. Soma Ucapan Jawa : Somo = Senin
3. Anggara Ucapan Jawa : Anggoro = Sloso
4. Budha Ucapan Jawa : Budo = Rabu
5. Wrhaspati Ucapan Jawa : Respati = Kemis
6. Cukra Ucapan Jawa : Sukro = Jemuwah
7. Caniscara Ucapan Jawa : Tumpak = Setu
Bangsa Hindu dengan kebudayaannya itu dapat memperngaruhi/menguasai penduduk pulau Jawa dan Kepulauan Indonesia lainnya, sehingga nama hari yang digunakan juga mengacu kepada nama ketujuh hari tersebut. Yang masih sering digunakan oleh masyarakat sekarang misalnya Somo manis (senin legi), anggoro kasih (sloso kliwon) dan respati manis (kamis legi).
Meskipun nama hari jawa asli terdesak, tetapi masih dapat bertahan, karena digunakan bersama yang dalam istilah Jawa disebut untuk ngrangkepi, hanya tempatnya saja berada dibelakang, dengan diubah namanya, tidak menggunakan nama aslinya, tetapi mengambil dari nama sinonimnya dan dari sifat warna unsurnya, yaitu : Kliwon nama sinonimnya kasihan, diucapkan kasih (pancar/jiwa); legi (anasir udata) sinonimnya manis, warnanya putih, bahasa kromo Pethak, diucapkan pethakan; Paing (anasir api) warnanya merah, bahasa kromonya abrit, disebut abritan; pon (anasir air) warnanya kuning , bahasa kromonya jene, diucapkan jeneyan; wage (anasir tanah) warnanya hitam, bahasa kromo cemeng, diucapkan cemengan.
Dengan demikian gabungan nama hari tersebut, dapat diucapkan sebagai berikut :
a. Dite kasih = akad kliwon
b. Dite pethakan = akad legi
c. Dite abritan = akad paing
d. Dite jeneyan = akad pon
e. Dite cemengan = akad wage
f. Somo kasih = senin kliwon
g. Somo manis = senin legi
h. Somo abritan = senin paing
i. Somo jeneyan = senin pon
j. Somo cemengan =senin wage
k. Anggoro kasih = sloso kliwon
l. Anggoro pethakan = sloso legi
m. Anggoro abritan = sloso paing
n. Anggoro jeneyan = sloso pon
o. Anggoro cemengan = sloso wage dst.
Disamping nama hari, orang hindu yang datang kepulau jawa juga membawa nama bulan, antara lain :
1. Crawana Ucapan Jawa : Srawono
2. Bhadrapada Ucapan Jawa : Podrowono
3. Acwina Ucapan Jawa : Asuji
4. Kartika Ucapan Jawa : Kartiko
5. Margacirsa Ucapan Jawa : Manggosri
6. Pausa Ucapan Jawa : Puso
7. Magha Ucapan Jawa : Manggokolo
8. Phalguna Ucapan Jawa : Palguno
9. Caitra Ucapan Jawa : Sitro
10. Waicakha Ucapan Jawa : Wisoko
11. Jyaistha Ucapan Jawa : Destho/Jito
12. Asadha Ucapan Jawa : Saddho/Noyo

Disadari bahwa disamping pengaruh hindu tersebut, nama, bulan tersebut juga dipengaruhi oleh arab dan belanda, sehingga apa yang digunakan saat ini kesemuanya tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh tersebut, tetapi yang terbanyak adalah pengaruh arab dan belanda sebagaimana yang kita gunakan saat ini.

Berikut ini penjelasan nama-nama mangsa dan umurnya

1. Kasa (Kartika) 22 Juni – 1 Agustus 41 hari
2. Karo (Pusa) 2 Agustus – 24 Agustus 23 hari
3. Katelu 25 Agustus – 17 September 24 hari
4. Kapat (sitra) 18 September – 12 Oktober 25 hari
5. Kalima (manggala) 13 Oktober – 8 Nopember 27 hari
6. Kanem (Naya) 9 Nopember – 21 Desember 43 hari
7. Kapitu (Palguna) 22 Desember – 2 Pbruari 43 hari
8. Kawolu (wasika) 3 Pebruari – 28 Pebruari 27 hari
9. Kasanga (Jita) 1 Maret – 25 Maret 25 hari
10. Kasapuluh (srawana) 26 Maret – 18 April 24 hari
11. Dhesta (Padrawana) 19 April – 11 Mei 23 hari
12. Sadha (Asuji) 12 Mei – 21 Juni 41 hari

Watak bawaan atau pengaruh dari tiga macam mangsa sebagai berikut :
a. Kasa (kartika), candra/cirinya Sotya murca ing embanan (mutiara lepas dari pengikatnya). Watak pengaruhnya : dedaunan rontok. Kayu-kayu patah di atas. Saat mulai menanam palawija, belalang bertelur. Bayi yang lahir dalam mangsa kasa itu wataknya belas kasihan.
b. Karo (pusa) candra/cirinya Bantala rengka (tanah retak), watak/ pengaruhnya tanah retak, tanam-tanaman palawija harus dicarikan air, pohon randu mangsa tumbuh daun-daunnya. Bayi yang lahir dalam mangsa ini wataknya cerobih, kotor
c. Sadha (asuji), candra/cirinya tirta sasana (air pergi dari tempatnya) watak/pengaruhnya musim dingin, jarang orang berkeringat. Usai panen. Bayi yang lahir dalam mangsa ini wataknya cukupan.


Tentang Wuku

Dalam ilmu perbintangan Jawa, terdapat istilah wuku. Wuku adalah perlambang dari sifat-sifat manusia yang dilahirkan pada hari-hari tertentu. Adapun sejarah asal usul wuku yang berjumlah 30 tersebut adalah kisah Prabu Watu Gunung di Kerajaan Gilingwesi. Tanpa disadari,ia telah memperistri ibu dan bibinya sendiri, yakni Dewi Sinta dan Dewi Landep, hingga berputra 27 anak, yakni :

1. Raden Wukir kembar dengan Raden Kurantil
2. Raden Tolu kembar dengan Raden Gumbreg
3. Raden Warigalit kembar dengan Raden Warigagung
4. Raden Julungwangi kembar dengan Raden Sungsang
5. Raden Galungan kembar dengan Raden Kuningan
6. Raden Langkir kembar dengan raden Mandasiya
7. Raden Julungpujut kembar dengan Raden Pahang
8. Raden Kuruwelut kembar dengan Raden Marakeh
9. Raden Tambir kembar dengan Raden Medangkungan
10. Raden Maktal kembar dengan Raden Prangbakat
11. Raden Bala kembar dengan Raden Wugu
12. Raden Wayang kembar dengan Raden Kulawu
13. Raden Dukut tidak kembar.

Dengan demikian anak Prabu Watugunung berjumlah 27. Nama anak ini digunakan sebagai nama wuku dan ditambah dengan Watugunung, Sinta dan Landep menjadi 30 wuku. Tiap wuku berumur 7 hari sehingga siklus berumur 210 hari. Wuku ke 1 (Sinta) mulai hari minggu pahing sampai dengan sabtu pon. Waktu ke 30 terakhir (watugunung) mulai hari minggu kliwon sampai dengan sabtu legi.

Permasalahan yang muncul adalah mengapa kecelakaan sejarah ini dijadikan perhitungan wuku? Hal ini bisa dimaksudkan bahwa Orang Jawa sangat melarang perkawinan antara anak dengan ibu, atau ayah dengan anak. Perkawinan antar saudara sekandung juga merupakan larangan karena akan menimbulkan bencana dan kerusakan alur keturunan manusia. Dengan demikian kisah ini merupakan unsur pendidikan budi pekerti yang berkaitan dengan aturan perkawinan.

Watak bawaan atau pengaruh wuku dilukiskan dalam lambang-lambang Dewa, air, daun, kayu dan burung. Dalam hal ini hanya dilukiskan wuku ke 1 dan ke 30 saja, antara lain :

a. Wuku Sinta
Dewanya Batara Yamadipati laksana pendeta, wataknya bagaikan raja, cemburu, besar nafsunya, tidak sabar, sering kecelakaan, lembut budinya, enak bicaranya, tidak percaya, tetapi banyak rejekinya. Kaya harta benda. Memanggul panji-panji : memiliki kesenangan. Kakinya didalam air : perintahnya keras pada awal, lunak pada akhirnya. Gedongnya di muka : menjadi memperlihatkan kekayaannya, rela pada lahirnya, tetapi dalam hatinya tidak setuju. Kayunya Kendayakan : menjadi tempat bernaung orang sakit, orang sengsara dan melarikan diri. Burungnya Gagak : tahu akan gelagat, cepat dalam segala pakaryan. Bencananya : Mati setengah umur.
Candranya : Indra janma nestapa, wataknya besar perhatiannya, sangat tinggi dan suka olah kependetaan. Selamatan penolakan : Nasi pulen masakan beras sapitrah (satu takaran : dua tangan digabung dan dikerungkan kurang lebih ¼ kg), daging kerbau seharga ½ ketheng (mata uang Jawa jaman lampau nilainya kurang lebih ½ sen) tanpa menawar, dimasak pindang. Slawatnya 4 ketheng. Do’a tolak bencana, Jabungkala jaya bumi (ancaman bahayanya) di timur laut : 7 hari jangan pergi ke timur laut.

b. Wuku Watugunung
Dewanya Batara Antaboga dan Bathari Naga gini: Antaboga: banyak kemauannya, selalu prihatin, menantang adu kepandaian, tak mau diatasi. Naga Gini : mendua kasih, mengharapkan kesalahan orang lain, percya kepada tahayul, menurut. Menghadap candi : gemar sepi, bila ia pendeta ada derajatnya, senang bersemedi, selalu prihatin. Kayunya Wijayakusuma : bagus rupanya, tak suka keramaian, bermutu bicaranya. Burungnya Gogik : dengki, tak suka keramaian. Bencananya : dianiaya. Selamatan penolaknya : Tumpeng masakan beras sapitrah, ikan kali, binatang darat, binatang terbang dan binatang hidup di liang, semuanya halal, dimasak pedas, asin, asam dan pahit, buah-buahan, bermacam-macam juadah dengan jenang, sayur 7 macam. Slawatnya 19 ketheng. Do’anya mubarak. Cabdranya : bintang dan bulan kesiangan, wataknya terang cahaya hatinya. Jabungkalajaya di timur : 7 hari jangan pergi ke timur