Selasa, 06 Januari 2009

Mengenal aliran-aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (1)

R.Otto Bambang Waahyudi

Sejarah terbentuknya BKOK
Di Indonesia telah bertebaran paguyuban atau sekte-sekte mistik kejawen. Anggota paguyuban membentuk aneka ragam kelompok yang dikenal dengan istilah kebatinan Jawa. Mereka umumnya termasuk penganut aliran kepercayaan, Meskipun tidak seluruhya. Artinya ada juga pelaku mistik kejawen yang bukan anggota salah satu aliran kepercayaan. Sebaliknya para penganut aliran kepercayaan biasanya banyak melakukan laku-laku mistik.
Beberapa organisasi atau paguyuban mistik yang sampai sekarang berkembang di masyarakat berjumlah 247 organisasi, diantaranya yaitu Sapta Dharma, berdiri tahun 1956 pusat di Yogyakarta, Pangestu berdiri tahun 1949 pusat di Jakarta, Sumarah berdiri tahun 1942 berpusat di Jakarta, Perwathin berdiri tahun 1963 berpusat di jakarta, Panunggalan berdiri tahun 1963 berpusat di Solo.
Diantara organisasi-organisasi tersebut ada yang sudah berhasil membukukan “wahyu” yang diterimanya, antara lain Pangestu dalam buku Sasangka Djati, disamping itu ada juga beberapa paguyuban mistik yang telah menjadi perhatian Geertz, yakni Budi Setia, Kawruh Kasunyatan, Ilmu Sejati, Kawruh Begja, yang masing-masing berpusat di Mojokuto (Geertz, 1989 : 453-471)
Dari berbagai paguyuban atau aliran tersebut ada yang tergolong besar dan aliran kecil. Diantara paguyuban mistik kejawen yang telah tergolong aliran besar dan termasuk tertua adalah Hardapusara, berdiri tahun 1895 di Purworejo oleh Ki Kusumawicitra. Ia pada awalnya menerima wangsit, yang sekarang ajarannya termaktub dalam kawruh Kasunyatan Gaib. Ajaran ini dimasukkan dalam dua buah buku berjudul Kawulo Gusti dan Wigati. Sedangkan Susila Budi Darma (SUBUD) didirikan tahun 1925, tidak mau disebut gerakan kebatinan, namun bernama “Pusat latihan penjiwaan”. Paguyuban ini menghasilkan buku ajaran berjudul Susila Budi Darma. Dewasa ini SUBUD telah berkembang di hampir pelosok dunia.
Atas permintaan dari pemerintah melalui Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Dit Bin Yat), yang disampaikan secara tertulis berupa makalah resmi dan dibacakan pada acara Pembinaan Pamong Budaya Spiritual di Cipayung tanggal 22 – 24 Nopember 1994, dan didukung oleh instansi terkait yaitu Departemen Dalam Negeri, Mabes POLRI dan Kejaksaan Agung, agar para penghayat membentuk Wadah Nasional Tunggal Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang sesuai dengan UU No. 8 tahun 1985 dan PP No. 18 tahun 1986, yaitu sebuah Wadah Nasional Tunggal yang beranggotakan Organisasi Organisasi Kepercayaan dan Kelompok Penghayat Perseorangan (bukan penghayat perseorangan). Adapun permintaan itu disampaikan karena wadah/organisasi yang lama yaitu Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) sejak tahun 1990 DPP-nya demisioner dan belum dapat memenuhi fungsinya sebagai Wadah Nasional Tunggal, serta keanggotaannya tidak sesuai dengan UU No. 8 tahun 1985 dan PP No. 18 tahun 1986.
Para sesepuh/pinisepuh penghayat kepercayaan tingkat nasional yang hadir kemudian berunding dan setuju untuk membentuk Wadah Nasional Tunggal yang BARU yang sesuai dengan UU No. 8 tahun 1985 dan PP No. 18 tahun 1986, dan merencanakan untuk mengadakan Musyawarah Nasional Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Pada kesempatan itu juga dibentuklah Panitia 9 (terdiri dari pribadi-pribadi) yang mempersiapkan materi Munas dan Panitia 5 (terdiri dari wakil organisasi-organisasi) untuk memprakarasai terselenggaranya Munas.
Namun karena ijin dari Presiden tidak kunjung turun maka rencana Munas tersebut akhirnya tertunda-tunda sampai kemudian Presiden Suharto “lengser keprabon” dan bergulirlah masa reformasi. Panitia 5 kemudian melanjutkan rencana untuk mengadakan Munas Kepercayaan. Dengan bantuan dana dari Direktorat / Pemerintah serta partisipasi dari para peserta yang hadir mewakili organisasi-organisasi kepercayaan tingkat pusat, maka terselenggaralah Musyawarah Nasional Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, pada tanggal 9 – 10 Oktober 1998 yang dibuka dan ditutup oleh (Pjs) Direktur Bina Hayat Bp. DR. I Gusti Ngurah Anom. Adapun Wadah Nasional yang baru tersebut kemudian diberi nama Badan Kerjasama Organisasi-Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (B.K.O.K.) yang anggotanya adalah Organisasi Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Kelompok Penghayat Perseorangan (bukan penghayat perseorangan).
Dewasa ini penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Naha Esa terwadahi dalam beberapa jenis wadah sebagai berikut :
1. Organisasi / Paguyuban Penghayat.
Organisasi/ Paguyuban adalah wadah penghayat yang anggotanya memiliki satu macam ajaran (homogin).
Pada umumnya organisasi/paguyuban penghayat sudah mempunyai
a. Susunan pengurus
b. AD/ART
c. Program kerja
d. Isi ajaran
Tingkat organisasi paguyuban ada tiga
a. Tingkat Nasional.
b. Tingkat Propinsi.
c. Tingkat Kabupaten/Kodya
Status Organisasi/Paguyuban
a. Berstatus Pusat
b. Berstatus Cabang
Menurut data tahun 1993 terdapat 243 organisasi/paguyuban berstatus pusat, dan 193 cabang, yang hanya berasal dari beberapa organisasi berstatus pusat.
2. Kelompok penghayat Perseorangan.
Kelompok Penghayat perseorangan adalah wadah penghayat yang anggotanya terdiri dari penghayat yang memiliki ajaran yang berbeda-beda atau Heterogen.
Menurut data tahun 1993 baru tercatat satu organisasi.
3. Penghayat Perseorangan
Penghayat perseorangan adalah penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang menganut ajaran tersendiri tidak berinduk pada ajaran lain, dan tidak mempunyai pengikut.
Data tahun 1993, belum terdata, sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti jumlahnya.
1. Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (HPK) Adalah Himpunan penghayat yang beranggotakan Organisasi penghayat, kelompok penghayat perseorangan, dan penghayat perseorangan.
Organisasi HPK ini dimaksudkan sebagai Wadah Nasional Tunggal Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maya Esa.
Organisasi HPK mempunyai
a. Kepengurusan :
1) DPP
2) DPD Tk 1
3) DPD Tk 11
b. AD/ART
c. Program Kerja
Data tahun 1993 kepengurusan HPK adalah
a. DPP : Demisioner
b. DPD Tk I : 12 Propinsi
c. DPD Tk 11 : 52 Kab/Kodya


2.4.2. Konsep Ajaran Kejawen
Bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang terbentuk dari suatu proses sejarah yang panjang dari ZAMAN PRASEJARAH umat manusia yaitu ditemukannya Phitecantropus Erectus, Phithecantropus Javanicus, Homo Soloinsies, kemudian ZAMAN SEJARAH dari berbagai unsur SARA, kelompok pemangku adat, kerajaan – kerajaan beserta peninggalan - peninggalannya ( Candi BOROBUDUR ) , hingga menjadi negara besar pada jaman SRIWIJAYA, kemudian mengalami penurunan atau terpecah - pecah namun kembali menyatu pada jaman MAJAPAHIT lalu mengalami penurunan kembali hingga terbentuklah sekarang Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ).
Komunitas kejawen yang amat kompleks, telah melahirkan berbagai sekte dan tradisi kehidupan di Jawa. Bahkan, di dalamnya terdapat paguyuban-paguyuban yang selalu membahas alam hidupnya. Paguyuban tersebut bersifat mistis dan didasarkan konsep rukun. Modal dasar dari komunitas ini hanyalah tekad dan persamaan niat untuk memelihara (nguri-uri) tradisi leluhur dan masing-masing paguyuban memliki cara dan jalan sendiri yang khas kejawen.
Masing-masing wilayah kejawen, juga memiliki pedoman dan cara yang khas serta kosmogoni dan mitos tersendiri sesuai dengan wilayah yang didiami. Mitos-mitos tersebut juga ada yang dijadikan kiblat hidup, ditaati, dipuja dan diberikan tempat tersendiri yang istimewa, demikian pula dengan laku mistik, meskipun kadarnya berbeda satu sama lain tetapi kekhasan kejawennya terasa kental.
Orang Tengger di Jawa Timur memiliki falsafah mistik tersendiri. Masyarakat Tengger meyakini bahwa nama Tengger berasal dari tokoh mistis Rara Anteng dan Joko Seger. Kedua tokoh ini sangat dipuja oleh masyarakat Tengger. Pemujaan dilakukan secara mistis dan menggunakan slametan. Orang Banyuwangi menganggap bahwa mitos Minakjingga dan isterinya Sita sebagai simbol reproduksi (Beatty, 2001 : 223-224). Hal ini dapat dirunut dari kata Jingga (merah) dan Sita (putih). Warana merah dan putih adalah gambaran sesaji jenang abang putih yaitu representasi asal usul manusia atau berasal dari ibu dan ayah.
Konsep Kejawen yang masih sangat kental di Jawa Timur adalah sikap dan perilaku orang Samin yang berdiam di daerah perbatasan Bojonegoro, dan Blora, dimana ajarannya sampai sekarang masih dipatuhi dan ditaati. Sejarah ajaran Samin Ajaran Samin (Saminisme) yang disebarkan oleh Samin Surosentiko (1859-1914), adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan terhadap kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati. Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini di dapat dari ayahanda, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, dimana banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata “sami-sami amin” yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan langkah membrandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat miskin. Kyai Samin Surosantiko tidak hanya melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara ceramah dipendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi dari ceramah ini yaitu keinginan membangun kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam dan jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti.
Namun akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko di cekal oleh Belanda dan dibuang di Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat mengaktualisasikan seluruh ide-idenya. Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan kitab orang Samin yang ditulisnya juga di sita yang berjudul, Serat Jamus Kalimasada demikian pula dengan kitab-kitab pandom kehidupan orang-orang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Sehingga masa kepemimpinannya, ajaran Saminisme terbagai dalam dua sekte, yaitu sekte Samin Sepuh dan sekte Samin Anom. Siklus kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja lahir dan batin. Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah petani biasa, namun dia adalah cucu dari seorang pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan kalam untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.
Ajaran Samin bersumber dari agama Hidhu-Dharma. Beberapa sempalan ajaran Kyai Samin yang ditulis dalam bahasa jawa baru yaitu dalam bentuk puisi tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara historis ajaran Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha sebagai sinkretisme antara hindhu budha. Namun pada perjalannanya ajaran di atas dipengaruhi oleh ajaran ke-Islaman yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang di bawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga patut di catat bahwa orang Samin merupakan bagian masyarakat yang berbudaya dan religius.
Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) diantaranya di Tapelan (bojonegoro), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunungsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan). Ajaran di beberapa daerah ini merupakan sebuah gerakan meditasi dan mengerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa nafsu.
Sebab perlawanan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan penguasa pribumi setempat dalam menjalankan pemerintahan di Randublatung. Tindakan perlawanan ini dalam bentuk gerakan mogok membayar pajak, mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian tanpa membayar karcis kereta dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda geram dan meyinggung banyak pihak yang menimbulkan kontradiksi yang tak kunjung padam dan membara.
Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih mengakui bahwa Kyai Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa yang menjadi penghuni kaswargan. Tokoh ini dimitoskan secara fanantik, bahkan pada momentum perayaan upacara rasulan dan mauludan sebagai ajang untuk mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin selalu berbegangan sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan antarwarga Samin .
Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa kawi yang ditambah dengan dialek setempat, yaitu bahasa kawi desa kasar. Orang Samin memiliki kepribadian yang polos dan jujur hal ini dapat dilihat setiap ada tamu yang datang, orang Samin selalu menyuguhkan makanan yang dimilikidan tidak pernah minyimpan makanan yang dimilikinya. Pengatahuan orang Samin terhadap ritus perkawinan adalah unik, mereka menganggap bahwa dengan melalui rites perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan dan tanggung jawab sosial. Orang Samin percaya dalam menuju kemajuan harus dilalui dengan marangkak lambat. Hal ini dapat dilihat dengan perilaku menolak mesin seperti traktor, huller dan lain-lain. Pakaian yang digunakan orang Samin adalah kain dengan dominasi warna hitam dengan bahan yang terbuat dari kain kasar.
Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara hidup. Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut Samin Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya fanatik, tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma.
Beberapa pikiran orang Samin diantaranya; menguasai adanya kekuasaan tertinggi (sang Hyang Adi budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk, tidak terikat kepada barang-barang dunia-kegembiraan-dan kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin dikalangan antar warga. Orang Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli pribumi, yang bebas dari campur tangan orang kulit putih, tiada dominasi barat satupun. Ajaran politik yang dikenakan pada suku Samin yaitu cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan hormat akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani, hormat dan setia pada dunia intelektual. Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran: (1) tidak bersekolah, (2) tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu, (3) tidak berpoligami, (4) tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut, (5) tidak berdagang. (6) penolakan terhadap kapitalisme. Konsep Ajaran Masyarakat Samin masuk dalam kategori Budaya Masyarakat Samin : Keseimbangan , Harmonisi , Kesetaraan Keadilan. Adalah prinsip dan falsafah hidup Masyarakat Samin tetap diyakini sampai saat ini Tahun 2006 . Dengan Tradisi Lisan menjaga Budaya dan Tradisi Lisan kepada generasi dan keturunan tingkat ke 4 adalah suatu hal yang perlu mendaatkan penelitian, yang berlanjut kepada pengakuan akan keberadaan Masayarakat Samin yang mempunyai kekhasan dalam bersikap dan bertindak. Masyarakat statis menjaga tradisi untuk kelanggengan keyakinan. Penelitian Budaya Masyarakat Samin oleh Stefanus Laksanto ( S3 Undip).
Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati) ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa.
Masyarakat Ponorogo juga memiliki semboyan mistis “jangan mengaji di pondok, mengajilah di Ponorogo”. Ponorogo adalah salah satu kota di Jawa Timur yang terkenal mistiknya. Ponorogo berasal dari kata Pono (tahu) dan rogo (tubuh). Berarti mengaji di Ponorogo sesungguhnya merupakan pencarian diri tentang ngelmu tubuh. Ngelmu tubuh adalah ilmu tentang kesempurnaan hidup.
Begitu pula wilayah Yogyakarta yang sampai saat ini mempercayai Ratu Kidul sebagai representasi kehidupan mistik Panembahan Senopati. Mitos ini telah meluas dan mewarnai segala perilaku kehidupan kejawen. Dan masyarakat kejawen tidak akan lepas dari aspek-aspek adikodrati yang perlu diperhatikan. Kekuatan adikodrati tersebut diyakini sungguh-sungguh, karena akan membantu laku mistik yang mengantarkan tindakan batin. Melalui tindakan batin tersebut mereka akan menguasai ngelmu kasidan jati, artinya ilmu yang menjadi tuntunan hidup-mati yang sempurna.
2.4.3. Konsep aliran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Keberadaan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wadah yang berbentuk organisasi secara umum, dahulunya hanya merupakan kumpulan orang-orang yang mengajarkan pengetahuan tentang arti hidup dan kehidupan. Secara empiris asalah usul kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha esa dapat dikategorikan menjadi beberapa hal, antara lain :
a. Pengetahuan yang didapat dari seorang guru yang kemudian disebar luaskan kepada orang terdekatnya dan akhirnya menyebar kepada masyarakat
b. Ajaran yang berdasarkan wangsit atau pengetahuan yang didapat dari luar alam tak sadar
c. Ajaran yang didapat dari roh leluhur atau sejenisnys.
Hakikat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat dikemukakan sesuai dengan hasil sarasehan nasional Badan kerjasama organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (BKOK) tanggal 30 mei 1999 adalah :
1. Hanya ada satu Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan dan menguasai alam semesta.
2. Manusia diberi Roh oleh Tuhan Yang Maha Esa dan adalah ciptaanNya yang paling sempurna.
3. Raga berasal dari sari alam (tanah, air, hawa dan api) dan akan kembali ke asalnya, sedangkan Roh yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa seharusnya langsung kembali kepadaNya.
4. Hanya Roh yang dapat berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, manusia harus mengenal Rohnya sendiri untuk dapat menerima petunjuk, tuntunan dan lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
5. Penghayatan spiritual, bukan karya budaya manusia, tetapi anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
6. Hukum Tuhan Yang Maha Esa berlaku mutlak di seluruh alam semesta.
7. Setiap manusia bertanggung jawab langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa atas apa yang diperbuatnya.
8. Mencintai sesama manusia dan segala ciptaan Tuhan Yang Maha Esa adalah landasan menuju kedamaian dan kebahagiaan dunia (memayu hayuning bawana).
9. Perilaku manusia yang berbudi pekerti luhur (moral dan etika) akan menciptakan kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar