Kamis, 08 Januari 2009

Mengenal aliran kepercayaan terhadap Tuhan YME (2)

a. Sejarah berdirinya Paguyuban Kapribaden dapat diuraikan Sebelum tahun 1900, seorang isteri "padhemi" (isteri resmi), dibuang dalam arti diberikan kepada seseorang yang dinilai berjasa. Itu karena desakan seorang "selir" yang sangat dicintai. Hal demikian, tidak jarang terjadi pada jaman itu. Isteri "priyagung" itu bernama Dewi Nawangwulan. Kepergiannya, disertai seorang dayang (emban), bernama Rantamsari. Dewi Nawangwulan, dibuang ("dhikendangake"), dan diberikan kepada Ki Kasandhikromo, yang sering juga disebut Ki Kasan Kesambi, seorang tokoh spiritual pada jamannya, yang berdiam di desa Kalinongko, Gunung Damar, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Saat dibuang, Dewi Nawangwulan dalam keadaan mengandung. Lahir bayi yang diberi nama Semono, ibunya Dewi Nawangwulan wafat. Tidak lama kemudian disusul Rantamsari, dayangnya juga meninggal dunia. Keduanya dimakamkan di puncak Gunung Damar Purworejo. Ki Kashandhikromo, tidak pernah mau menganggap, apalagi memperlakukan Dewi Nawangwulan sebagai isterinya. Tetap dianggap dan dia perlakukan sebagai "ratu" -nya . Demikian pula isterinya, Nyi Kashandhikromo. Semono dipelihara dan dibesarkan Ki Kashandhikromo. Di sekolahan Sekolah Ongko Loro (SD yang 5 tahun tamat untuk pribumi). Semono yang lahir tahun 1900, harinya Jumat Pahing. Tidak ada catatan resmi tanggal dan bulannya. Hal biasa pada jaman itu. Semono, semasa sekolah, setiap hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, membolos. Bukan karena malas atau nakal, tetapi karena malu. Pada saat matahari tepat di atas, saat semua orang tidak ada bayangannya. Semono bayangannya 12. Karena selalu jadi tontonan teman-temannya, jadi malu. Maka lebih baik membolos. Tamat SD itu, langsung diangkat jadi Guru Bantu. Suatu hari, pemuda Semono yang saat itu berumur 14 tahun (sudah dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa pada jaman itu), disuruh Nyi Kasan, mengambilkan minyak, di dalam salah satu bilik rumah mereka. Ternyata, di dalam bilik itu, tertidur lelap seorang gadis kemenakan Nyi Kasan. Dalam kelelapan tidurnya, kain yang dipakai tersingkap, jadi tubuhnya kelihatan terbuka. Pemuda Semono, melihat hal itu, "Mengkorok" (Berdiri bulu bulu di tubuhnya). Semono lalu merenung. Mempertanyakan, apa sebenarnya yang menggerakkan bulu bulu tubuhnya itu ?. Renungan demi renungan, tidak menemukan jawab. Akhirnya Semono memutuskan, minta ijin Ki Kasan untuk pergi bertapa. Semono yang berusia 14 tahun itu, bertapa di tepi laut Selatan, di Cilacap. Bekasnya (petilasannya) masih ada sampai saat buku ini ditulis. Berupa dua rumpun bambu, di dalam kompleks Pertamina. Pertamina, sekalipun sudah berusaha dengan berbagai cara, tidak bisa membongkar kedua rumpun bambu itu. Semono bertapa selama 3 tahun (1914 - 1917). Hasilnya mendapat "Cangkok Wijoyo Kusumo". Berbentuk seperti bunga kering, berwarna coklat kehitaman. Kalau dimasukkan air, akan mengembang sebesar tempatnya. Semono kecewa, karena bukan itu yang dicari. Beliau mendapat "wangsit" (ilham), untuk melanjutkan laku sampai tahun kembar 5, dan di timur nantinya akan dia temukan apa yang dia cari. Baju yang dikenakan Semono selama 3 tahun bertapa, hancur. Dengan hanya bercawat dedaunan, Semono pulang. Jalan malam Siang sembunyi, malam jalan. Takut akan malu kalau bertemu orang. Sampai di rumah, bukannya dirayakan, tetapi malah sudah disediakan lubang ("luweng"), lalu pemuda Semono oleh Ki Kasan, ditanam ("dhipendem"), selama 40 hari 40 malam. hanya diberi batang gelagah untuk bernafas. Dan setiap usai menanak nasi, Nyi Kasan mengepulkan asap nasi itu ke dalam lubang gelagah. Selanjutnya, Semono sambil menjadi Marsose (sekarang marinir), berkelana, tetap menjalani laku. Kalau siang dinas, malamnya berendam di laut, menjala. Tidak pernah dapat ikan. Itu dilakukannya sampai tahun 1955. Tanggal 13 malem 14 November 1955, kebetulan jatuh malem Senen pahing, pukul 18.05, banyak orang di Perak Surabaya, terkejut, menyaksikan rumah Letnan KKO ( sekarang Letnan Satu Marinir), terbakar. Tetapi setelah didekati , ternyata bukan api, melainkan cahaya. Bahkan ada kereta keemasan (kreto kencono) di langit, yang turun masuk ke rumah Letnan Semono). Di Jalan Perak Barat No. 93 Surabaya. Peristiwa itulah yang dikenal sebagai mijilnya Romo Herucokro Semono. Pernyataan beliau saat Mijil, menyatakan bahwa "Ingsun" Mijil, arso nyungsang bawono balik, arso nggelar jagat anyar. "Ingsun" (bukan aku) mijil hendak memutar-balikkan jagad (maksudnya jagat kecil, pribadi manusia, micro cosmos), dan hendak menggelarkan dunia baru (micro cosmos baru). Artinya, kalau selama ini, kita selalu memperbudak Hidup, selanjutnya terbalik, kita sebagai manusia akan menjadi abdi-nya Sang Hidup. Mulai saat itu, Romo Herucokro Semono memberikan siapapun yang menghendaki (tidak ada paksaan, tidak menakut-nakuti dengan cara dan jalan apapun), yang ingin Hidup bahagia (Tentrem), agar bisa mencapai "Kasampurnan Jati" (moksha) pada saatnya. Apa yang beliau berikan, akan bisa diikuti dalam bab bab berikut . Romo Herucokro Semono, selanjutnya memberikan Laku Kasampurnan ini, sesudah dinas. Berlangsung sampai tahun 1960. Beliau menjalani masa pensiun sebagai Kapten Marinir. Beliau lalu pulang ke Purworejo dan berdiam di Kalinongko dan Sejiwan, Loano, Purworejo (2 rumah kediaman). Setiap hari, beliau menerima kedatangan rata rata 500 orang lebih. Semua orang, pada waktu makan, diberi makan dan yang menginap, dengan bebas mencari tempat untuk tidur, di rumah beliau. Tentunya berbagai keperluan orang yang datang. Mulai dari meminta pengobatan penyakit yang dokter sudah tidak sanggup mengobati, dengan seketika sembuh, memohon restu untuk sesuatu, dan lain-lain. Tetapi tidak sedikit yang datang untuk memohon bisa mengikuti Laku Kasampurnan (disebut mohon dipekenankan menjadi Putro). Berdatangan orang dari berbagai penjuru dunia, melalui berbagai sebab (jalaran), yang akhirnya menjadi Putro. Selama 25 tahun lebih (13 malem 14 November 1955 s/d 3 Maret 1981), Romo Semono melayani pagi, siang, sore, malam, dini hari, siapapun yang datang . Semua yang datang, diperlakukan 100% sama. Beliau tidak pernah memandang orang dari perbedaan apapun. Derajat-pangkat, kekayaan kedudukan sosial, suku, bangsa, semua diperlakukan 100% sama. Kalau beliau sedang memberikan petuah ("wulang-wuruk"), setiap orang mendengar menurut bahasanya sendiri sendiri. Yang orang Jerman mendengar beliau berbicara bahasa Jerman, yang orang Inggeris mendengar beliau berbahasa Inggris, sedang penulis mendengar beliau berbahasa Jawa. Romo Semono, setiap harinya, makan dua kali. Tetapi tiap kali makan, hanya satu sendok. Tidurnya, hampir tidak pernah. Hampir tidak pernah mandi, tetapi selain tidak berbau badan beliau, juga tidak ada daki (kotoran) di kulit beliau. Tubuh tetap sehat, gagah, tinggi besar. Hal hal luar biasa, atau mujijat yang beliau tunjukkan, kalau ditulis semua akan menjadi satu buku tersendiri. Beberapa contoh saja, misalnya sekitar tahun 1960, beliau naik sepeda motor militer, di atas laut Jawa, menyeberang ke Madura. Kalau mengemudikan mobil, tangan dan kaki beliau dilepas, dan mobil dikomando dengan ucapan. Beberapa kali orang menyaksikan beliau menghidupkan orang, yang telah dinyatakan mati oleh dokter, dan siap dikubur. Beliau sering berada di beberapa tempat pada saat yang sama, dan di tiap tempat beliau makan minum seperti biasa. Setiap kali, sekalipun dihadapan beliau menghadap ratusan orang, beliau bercerita. Dan setelah selesai bercerita, ternyata semua pertanyaan dan persoalan yang ada di benak yang hadir, sudah terjawab semua. Mudah-mudahan, suatu saat penulis bisa mengumpulkan pengalaman pengalaman para "kadhang", yang tidak masuk akal, tetapi benar benar terjadi, dan mujijat mujijat Romo Herucokro Semono yang mereka saksikan, dan bisa penulis bukukan tersendiri. Romo Semono wafat tanggal 3 Maret 1981, dan dimakamkan di Kalinongko, Loano, Purworejo. Romo Semono tidak dikaruniai anak. Tetapi meninggalkan ratusan ribu, mungkin jutaan Putro, yang tersebar di mana mana.Dan peninggalan beliau yang paling berharga adalah Sarana sarana Gaib, bagi mereka yang ingin Hidup bahagia (Tentrem), agar bisa menjalani dan mencapai "Kasampurnan jati" pada saatnya masing masing. Tinggalan beliau yang terakhir inilah yang sampai sekarang, dipelihara ("dhipepetri") dan dilestarikan oleh Putro-putronya. Dilestarikan, dalam arti tetap dihayati dan diamalkan dan diberikan kepada siapa saja yang menghendaki, tanpa memandang perbedaan apapun yang ada pada manusianya. Jadi, sifatnya universal.
b. Kawruh Kasunyatan Kasampurnan Pusoko Budi Utomo, yang diketemukan oleh Bapak Tulus alias Asmo Hutomo pada tanggal 14 malam 15 suro 1940, mellui tapa brata di sumber celeng Desa Parerejo Kediri, dan menerima wangsit atau petunjuk gaib berupa pepali/wewaler dan lelaku kang kanggo ngertapake ngemban pusoko budi utomo Bapak Hardjo Tulus yang tinggal di Desa Sidomulyo Pare Kediri meninggal dalam usia 84 tahun. Sebenarnya tidak terlepas dari ajaran Domas Makuthoromo, yakni ajaran dari eyang Romo Jati sebagai orang yang pertama kali menerima wangsit, dan ajaran tersebut lebih menekakankan tentang keselamatan pribadi (olah kanuragan). Selanjutnya ajaran Kawruh Kasunyatan kasampurnan Pusoko Budi Utomo diteruskan oleh Bapak Sampun yang tinggal di desa Mojoruntut Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo. Kawruh Kasunyatan Kasampurnan Pusoko Budi Utomo berarti pengetahuan berharga peninggalan leluhur yang bertujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup secara lahir batin.

3 komentar:

  1. selamat malem mas otto.
    boleh berkenalan ya, saya petruk.
    saya tertarik dengan tulisan anda mengenai Romo Semono.
    jika anda berkenan, anda bisa email ke saya di petruk.ngawur@yahoo.com atau
    arya.soearman@gmail.com
    suwun

    BalasHapus
  2. Trma kasih mas .. atas infomasinya dn pengtahuannya .. smoga bermanfaat.

    Salam manis
    EDY PUTRA JEPARA

    BalasHapus
  3. maaf ni kalau boleh tau detail dari PUSOKO BUDI UTOMO pa tau ta.../??pa pean juga tau lambang dari PUSOKO BUDI UTOMO tsb,,seperti halnya aliran kejawen yg lainnya...mhn info jelas,pa di surabaya da cabang dari PUSOKO BUDI UTOMO...
    info hub : samsul-0888 57 69 746
    surabaya.jatim

    BalasHapus